Postingan

Review Film: Abracadabra [2019] || Kritik dan Apresiasi

Gambar
  [dok. pribadi] Hari ini (10/01/20), aku datang ke bioskop dengan ekspektasi yang luar biasa tinggi. Selain dibintangi oleh aktor-aktor kesukaanku, seperti Reza Rahardian, Lukman Sardi, Dewi Irawan, Jajang C. Noer, dan Butet Kartaredjasa, film  Abracadabra  ini kurasa memberikan warna baru bagi perfilman Indonesia. Seingatku, aku (memang bukan  filmholic,  sih) belum pernah nemuin film Indonesia yang mengangkat tema fantasi-persulapan-persihiran macam model  Abracadabra  begini.  "Wah, keren banget, nih, pasti!" yakinku.  Tanpa bermaksud ngebocorin film--bagi yang belum nonton--film ini diawali dengan shot Lukman (Reza Rahardian), terdampar di karang tepi laut. Lalu kamera bergerak mundur, kemudian memperlihatkan pemandangan yang luar biasa indah. Nonton, dah. Gak nyesel liatnya.  "Wah, gila. Bakal keren banget, nih!"  Okeh.. lanjut.  Cerita tiba-tiba berpindah ke ruang kamar, dengan Lukman yang tiba-tiba bangun pukul 3.15 pagi dan melihat buku catatannya yang memp

Ulasan Film: Mama-Mama Jagoan

Gambar
  Sumber: pribadi Sebelum masuk ke ulasan, aku mau bilang bahwa tulisan ini gak berisi sinopsis  Mama-mama Jagoan . Atau keterangan lengkap mengenai tim produksi. Ini lebih ke unek-unek aku aja. Jadi, lebih baik nonton dulu filmnya baru baca tulisanku, ya, biar ga  spoiler.  Heheheheheheeheheheheh . Well, a ku benci pada sesuatu yang tidak bisa kutemukan celah untuk kukomentari. Film yang ceritanya dibuat dan disutradarai oleh Sidi Saleh ini bagiku terlalu bikin hanyut; bikin ketawa, bikin nangis, bikin nangis sambil ketawa, bikin ketawa sambil nangis. Film ini--bagi awam sepertiku--terlalu bagus, baik dari segi cerita (termasuk penokohan dan pengaluran), visual, detail, penempatan lagu latar ,  dan tentu saja dari kualitas pemeran utamanya. Ya, iyalah, Widyawati, Ratna Riantiarno, dan Niniek L. Karim, gitu! Ya, kan?!  Tapi, tapi, tapi, jiwa tukang komen emang gak bisa diredam. Hasrat mulut gatel gak bisa dilawan.  Walaupun aku sendiri merasa komentarku ini cukup receh, sih. Yang TAPI,

Ulasan Film: Satu Hari Nanti

 Beberapa bulan ini aku kosong. Kosong sebab aku tak mengisinya. Beneran,  deh.  Aku merasa bodoh. Tanpa membaca sesuatu yang berguna,  apalagi menulis sesuatu. Tapi akhirnya aku mencoba menulis lagi setelah berbulan-bulan. Kuharap tulisanku ini tidak mempermalukan diriku sendiri di kemudian hari. Tapi mungkin, memang kita,  dalam hidup,  butuh jeda.  Seperti yang dikatakan Chorina (Ayushita) kepada Bima (Deva) dalam  Satu Hari Nanti . Sebenernya,  sih,  seinget gue mereka lagi ngomongin soal hubungan antara pria dan wanita.  Tapi,  kan,  tapi,  hubungan asmara toh bagian dalam hidup,  kan? Film ini,  seperti sebuah karya pada umumnya,  berusaha memberikan hikmah,  ikhtisar,  dan pembelajaran bagi penontonnya.  Dikemas dengan kisah cinta 2 pasangan yang kemudian sama-sama selingkuh ini lumayan banyak yang bisa "dipetik",  ya.  Dari soal asmara,  kayak kejujuran,  mau mendengarkan,  dan menghargai pasangan. Penonton,  khususnya gue,  gregetan ketika Alya (Adinia)  motong-moton

Film Dilan || Sebuah Review Sederhana

Gambar
  Foto Buku Milea, Baru Inget Waktu Itu Buku Dilannya Cuma Minjem "Mereview film Dilan 1990 itu berat. Aku tak'kan kuat. Biar orang lain saja."

Ulasan Film: Posesif | Suatu Pembelajaran

Gambar
  Sebait Kegelisahan Tulisan ini dibuat bukan sebagai  spoiler , tapi semata-mata hanya untuk ajang pamer bahwa saya sudah menonton film ini dan tentunya mengeluarkan kegelisahan saya. Awalnya saya tahu film ini dari teman saya. Oke, saya penasaran. Ernest Prakarsa, di instagramnya pada 26 Oktober 2017 menulis bahwa film ini layak diganjar 10 nominasi FFI 2017. Saya makin penasaran.  Bahkan, Ayudia Bing Slamet sempat menulis di  instastory  bahwa selama menonton film ini sama sekali tidak ingin mengkritik--sayang sekali saya tidak sempat meng capture  sebab sebelumnya saya tidak terpikir untuk memberikan ulasan seperti ini.  Well.. saya makin-makin penasaran. Berarti film ini, kan, bagus sekali? Ernest dan tentunya Ayudia, yang anaknya lucu sekali itu, ternyata memberikan dampak yang besar bagi saya. Pertama adalah ingin menonton dan kedua adalah ingin membantah pernyataannya tersebut.  Menurut data yang diambil dari  theatersatu , film yang rilis pada 26 Oktober 2017 ini sudah ditonto

Dongeng Tanpa Judul, Tanpa Ujung

Suatu pagi aku terbangun dan menemukan rumahku adalah kota besar nan megah Gedung-gedung tinggi mencakar cakrawala nun jauh di sana Aku hidup di kota besar, ingar-bingar adalah sarapan balita hingga lansia Aku hidup di tengah kabut pekat yang begitu jauh dari debur ombak Yang jauh dari biru yang paling biru Anak-anakku hanya kusisakan cerita demi cerita tentang masa lalu yang jaya Cucu-cucuku kuceritakan tentang orang-orang yang pernah merasa Berjaya Mereka hanya tertawa dan mengira aku sedang mendongeng belaka : tentang ombak : tentang perahu : tentang karang : tentang laut : tentang biru : tentang.. : tentang ketenangan, tentang keindahan Padahal ayahku kerap bercerita tentang ikan-ikan yang melompat kegirangan di pinggir perahu sederhananya Padahal ibuku kerap bercerita tentang otot kakek bekas menjala ikan di samudra raya Sedang aku hanya dikira sedang mendongeng kisah-kisah yang tak pernah ada Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung

Ulasan dan Kritik Buku: Dua Tanda Kurung | Puisi dalam Puisi Kehidupan Handoko F. Zainsam

Gambar
dok. pribadi Hiasan-hiasan kehidupan Menjadi indah ketika menemukan pembalikan. Kesadaran Mata rantai yang tak terputus - Handoko F. Zainsam Membaca Dua Tanda Kurung karya Handoko F. Zainsam seperti membaca kehidupan. Penuh lika-liku dan rahasia. Buku ini menyimpan banyak misteri, seperti sejatinya kehidupan. Buku yang dibuat dari tahun 2002 hingga 2014 ini memiliki misterinya sendiri lewat tokoh-tokoh yang Handoko ciptakan. Alur kehidupan dibuat berbelit dan saling membelit. Handoko pandai menyimpan rahasia kisah setiap tokohnya. Plot demi plot dikisahkan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan pertanyaan yang besar. Cukup menarik pembaca untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.  Membaca halaman demi halaman, puisi demi puisi; seperti menyelami kehidupan kita sendiri. Handoko pandai membelah jiwa pembaca lewat puisi yang ia ciptakan. Puisi-puisinya seperti “tercecer” dan bertebar di tiap kata yang ia tulis. Sajak-sajaknya seakan mampu mengoyak jiwa. Cerita ini dibuka dengan sajak